Selasa, 11 Oktober 2011

DASAR MANAJEMEN PERIKANAN



DASAR MANAJEMEN PERIKANAN”
Negara maju dan berkembang seperti Indonesia telah banyak menerapkan berbagai instrument pengelolaan untuk mengendalikan dan mengelola sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Untuk mengikuti permasalahan dan kebutuhan yang ada maka penerapan instrument pengelolaan pada perikanan tangkap secara global akan terus berubah-ubah sepanjang tahun. Dimulai pada tahun 50-60an yang menerapkan instrument maximum sustainable yield (MSY). Sepuluh tahun kemudian setelah instrument MSY gagal, maka pengelolaaan dilakukan melalui prinsip ekonomi rasionalisasi yang merupakan manajemen berbasiskan instrument ekonomi neoklasikal.Pada tahun 90an, kebijakan pengelolaan Kawasan Konsevasi Laut (KKL) mulai bergema. Selanjutnya mulai diperkenalkan kebijakan pengelolaan yang berbasiskan masyarakat seperti local community approach, dan lain-lain. Kebijakan terbaru muncul tahun 2000an merupakan model pengelolaan yang mengintegrasikan berbagai aspek dalam bentuk integrated management.
Peran penyuluhan perikanan dapat dilihat dengan tercapainya tujuan pembangunan perikanan yaitu yang tercermin dalam visi pembangunan kelautan dan perikanan : “pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang lestari dan bertanggung jawab bagi kesatuan dan kesejahteraan anak bangsa.Penyuluh perikanan dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, meliputi tingkat satu yang berfokus pada lini terdepan dalam pelayanan penyuluhan; tingkat dua berfokus pada pengembangan program dan merupakan penghubung antara kelompok penyuluh di tingkat satu dan tiga, dan tingkat tiga merupakan penyuluh perikanan yang berfokus pada kegiatan advokasi kebijakan pada lini atas.
Secara mendasar, seluruh penyuluh perikanan harus menguasai prinsip-prinsup penyuluhan terutama terkait dengan kemampuan pengorganisasian masyarakat, komunikasi informasi-inovasi, dan advokasi. Secara spesifik, penyuluh perikanan dapat mengembangkan kekhususan sesuai bakat, minat, dan konsistensi bidang yang dimilikinya, bisa di bidang budidaya perairan, teknologi penangkapan ikan, pengolahan, pemasaran dan pengembangan kelembagaan sosial-ekonomi perikanan.
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan sumberdaya perikanan yang tinggi 5,8juta km2 dan 6000 jenis ikan yang belum teridentifikasi. Sumberdaya perikanan laut, khusus nya ikan merupakan salah satu aset nasional yang sangat strategis sebagai modal dasar bagi kelanjutan pembangunan nasional sedangkan sumberdaya perikanan laut yang sangat besar, yaitu sekitar 6,6 juta ton per tahun, yang baru dimanfaatkan sekitar 34 persen. Saat ini sudah banyak sumberdaya perikanan yang rusak atau terganggu, maka perlu dilakukan pengelolaan agar sumberdaya tersebut tetap lestari.
Beberapa contoh kasus dalam pengelolaan perikanan, yaitu:
  1. Kawasan Konservasi Laut (KKL); optimisasi dan dampak sosial ekonomi perikanan,
Kebijakan mengenai instrument pengelolaan perikanan selalu berubah sepanjang tahun, namun kebijakan KKL sangat menimbulkan kontroversi karena instrument ini masih diragukan dampak sosioekonominya bagi masyarakat pesisir terutama nelayan.
  1. Nilai tambah dari produksi pemanfaatan kredit pengambek pada usaha penangkapan ikan,
Salah satu kendala yang di hadapi sebagian besar nelayan dalam meningkatkan produksi adalah kurangnya modal. Sebenarnya pemerintah sudah mengupayakan penyaluran kredit untuk para nelayan yang sering disebut kredit program, namun dalam kenyataannya kredit tersebut belum banyak dimanfaatkan oleh nelayan karena dalam pelaksanaannya banyak kelemahan-kelemahannya. Walaupun bunga cukup tinggi karena kredit pengambek sesuai dengan keinginan nelayan maka kredit ini banyak dimanfaatkan oleh nelayan.
  1. Konflik sosial dalam masyarakt nelayan,
Penyebab terjadinya konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan modern disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
  1. Masih beoperasinya alat tangkap yang sudah dilarang penggunaannya oleh pemerintah
  2. Pelanggaran jalur penangkapan
  3. Perbedaan teknologi penangkapan
  4. Kurang optimalnya fungsi dan peran kelembagaan atau institusi pemerintah
  5. Hukum dan peraturan perikanan yang tidak tegas.
  1. Penguatan kelembagaan dengan model comanagement dalam rangka menuju pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Lembaga Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) adalah suatu lembaga yang dikelola oleh masyarakat sekitar dan didukung oleh pemerintah. Lembaga inilah yang diharapkan mampu mengatasi kerusakan sumberdaya yang terjadi diperairan Indonesia. Akan tetapi, lembaga DPL-BM di Desa Tanjung Jaya masih menghadapi banyak kendala dalam melaksanakan tugasnya. Kurangnya keprofesionalisme dalam pengelolaan organisasi, kurangnya insentif pengurus lembaga dan masih lemahnya landasan hukum adalah faktor utama yang menyebabkan kinerja lembaga ini masih belum optimal.
Solusi mengenai kasus pengelolaan sumberdaya perikanan diatas, diantaranya adalah:
  1. Setelah dilakukan justifikasi mengenai dampak pembangunan KKL terhadap sosioekonomi masyarakat sekitarnya didapat kesimpulan bahwa KKL menyebabkan pengelolaan stok ikan dan usahapenangkapan yang lebih baik. Namun dibutuhkan pembentukan kelembagaan yang baik untuk mengakomodasikan masyarakat lokal agar mereka menyadari pentingnya KKL, ini menjadi penting karena kondisi lingkungan perairan yang secara ekologis sudah banyak mengalami gangguan. Koordinasi yang baik diantara stakeholder seperti Departemen Kehutanan, Departemen Perikanan dan kelautan, pemerinta Daerah, dan masyarakat setempat akan membantu efektivitas pembangunan KKL.
  2. Sehubungan dengan kesimpulan disarankan: 1) Pemerintah memberikan kredit kepada nelayan dengan bunga rendah dan dengan prosedur seperti kredit pengambek, 2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji faktor apa saja yang menjadi kendala tidak semua nelayan memanfaatkan kredit pengambek.
  3. Konflik yang terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern dapat diselesaikan melalui upaya:
  1. Jika kapal-kapal yang dilarang tersebut tetap beroperasi, maka nelayan tradisional menghendaki adanya kontribusi dari nelayan modern berupa 5% dari hasil tangkapan nelayan modern tersebut.
  2. Penetapan jalur penangkapan yang jelas bagi nelayan tradisional dan bagi nelayan modern.
  3. Sikap tegas pemerintah provinsi dan kota terhadap segala macam pelanggaran yang terjadi
  4. Kemitraan usaha antara nelayan tradisional dengan nelayan modern.
  1. Permasalahan kurangnya keprofesionalismean pengurus dapat diatasi dengan pelatihan tentang manajemen organisasi dan pembimbingan tentang dasar-dasar kepemimpinan. Insentif bagi pengelola dapat diatasi dengan bantuan dari pemerintah daerah berupa alat tangkap dan perahu serta dana operasional bagi pengelola agar mereka memiliki sumber penghasilan dengan menangkap ikan sekaligus melakukan pengawasan terhadap kawasan konservasi. Landasan hukum yang ada berupa PERDES hanya berlaku bagi penduduk Desa Tanjung Jaya sedangkan nelayan dari desa lain masih melakukan penangkapan di kawasan konservasi, sehingga aturan yang ada tidak bersifat menyeluruh. Oleh karena itu diperlukan suatu PERDA yang dikeluarkan oleh Pemprov.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa sistem penyuluhan perikanan dalam mengantisipasi perubahan harus memiliki sumber daya manusia (penyuluh perikanan) yang profesional. Profesionalitas itu dapat dimanifestasikan dalam bentuk kompetensi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha, dan tuntutan perubahan kondisi sumber daya alam dan lingkungan yang kompleks. Tantangan penyuluhan perikanan ke depan tak hanya berkisar pada masalah kapasitasi pelaku utama dan usaha, namun perlu pula dikembangkan strategi pengembangan SDM penyuluh perikanan yang dibangun secara sistemik oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dengan bekerja sama dengan multi pihak, baik pemerintah, swasta, dan representasi masyarakat terkait. Perubahan-perubahan yang dihadapi dan harus diantisipasi melalui sistem penyuluhan di bidang perikanan-kelautan meliputi:
  1. Perubahan kondisi sumber daya alam meliputi penurunan kondisi lingkungan, perubahan iklim, dan keterbatasan ruang pemanfaatan sumber daya.
  2. Perubahan arah kebijakan dan strategi pembangunan kelautan-perikanan yang berkaitan dengan skala prioritas.
  3. Tuntutan kebutuhan dari masyarakat, baik pelaku utama mau pun pelaku usaha, yang berdampak pada tuntutan profesionalitas penyuluh perikanan yang kompeten di bidangnya, sehingga pengembangan SDM penyuluh mendesak untuk dilakukan.
  4. Pengembangan struktur organisasi penyuluhan perikanan baik di tingkat pusat mau pun daerah yang lentur, namun tetap dalam koridor pelayanan penyuluhan yang bermutu.
  5. Perubahan teknologi dan modernisasi di bidang perikanan harus disesuaikan dengan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha, dengan mempertimbangkan kompleksitas, triabilitas, efisiensi, kompatibilitas, dan adaptabilitasnya baik terhadap lingkungan fisik, mau pun lingkungan sosial-politik, dan budaya setempat.
Dengan demikian, sistem penyuluhan perikanan perlu dibangun dengan manajemen sistem yang handal yang mampu mensinergiskan keberadaan ekosistem alam dan karakteristik sistem humanistik yang di dalamnya ada komunitas nelayan, pembudidaya, pengolah, pemasar, dan kelompok masyarakat lainnya. Manajemen sistem penyuluhan perikanan yang handal perlu didukung oleh mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pendekatan monitoring dan evaluasi yang mantap dan berkelanjutan.


KAPAL PERIKANAN


PENGENALAN KAPAL PERIKANAN

Kapal adalah kendaraan pengangkut penumpang di laut, pada semua daerah yang mempunyai perairan tertentu. Kapal perikanan adalah suatu benda dalam berbagai ukuran yang dapat bergerak terapung, dioperasikan diperairan tawar, payau dan laut serta digunakan untuk menangkap ikan, pengangkutan, pendarata, pengawetan dan atau pengolahan ikan, kerang-kerangan dan hewan-hewan air lainnya.
Kapal perikanan dibedakan menjadi dua, yaitu kapal penangkap ikan dan kapal bukan penangkap ikan. Kapal penangkap ikan meliputi : kapal jarring insang, kapal pukat cincin, kapal pukat hela, kapal jarring angkat, dll. Kapal bukan penangkap ikan meliputi : kapal induk perikanan, kapal riset perikanan, dll.
Keistimewaan kapal ikan sangat banyak sekali, semua kapal pastinya di buat berdasarkan fungsinya masing-masing. Begitu juga dengan kapal ikan, berikut ini keistimewaan kapal ikan : 
  • Fishing Equipment, tentu saja sebagai kapal ikan haruslah dilengkapi dengan alat tangkap ikan (Fishing Gear). Untuk kapal ikan yang berbeda, maka alat tangkap yang dimiliki akan berbeda pula.
  • kapal ikan Memiliki kecepatan yang lebih tinggi, hal ini memudahkan dalam memburu gerombolan ikan.
  • kapal ikan memiliki Lingkup pelayaran yang luas (tapi tergantung kapalnya juga) karena daerah operasinya tergantung pada gerak ikan, musim ikan dan perpindahan fishing ground.
  • kapal ikan mempunyai laik laut yang baik karena dalam operasinya kapal ikan harus siap menghadapi cuaca seburuk apapun, seperti ombak, arus dan sebagainya. 
  • memiliki stabilitas yang baik dibandingkan dengan kapal – kapal umum karena pada saat menarik jaring kapal harus bisa tetap stabil.

Secara umum, jenis-jenis kapal perikanan sendiri tergantung dengan alat tangkap yang digunakan. Alat tangkap yang biasa digunakan seperti purse seine, trawl, long line dan lain-lain. Jenis-jenis alat tangkap ini selain mempengaruhi terhadap jenis-jenis kapal perikanan juga mempengaruhi bentukbentuk kapal. Dengan kata lain, lain alat tangkap lain pula bentuk kapalnya. Hal itu disebabkan karena instrumen yang digunakan untuk mendukung ketika melakukan penangkapan ikan akan berbeda pada setiap jenis alat tangkap.
Kapal pada umumnya adalah sebuah tempat atau bejana apung yang berdinding tipis, kedap air, dan dapat diisi oleh muatan, penumpang, mesin, tempat tinggal awak kapal serta peralatan kapal yang disesuaikan dengan tujuan pembangunannya.
Berdasarkan pertimbangan berbagai macam pelaksaan tugas dan fungsi , secara umum bentuk kapal ikan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : kapal bentuk segitiga, kapal bentuk biasa, dan kapal bentuk kotak.
Instalasi kemudi adalah suatu sistem yang menjamin olah gerak kapal ikan yang cukup. Kemudi berfungsi untuk menentukan dan mengatur arah haluan atau maneuvering kapal ikan. Kemudi memberikan balance pada kapal ikan baik dalam putaran maupun arah gerak lurus. Pada saat terjadi perubahan letak kemudi ke samping kiri atau kanan maka akan terjadi gaya baru yang merupakan tekanan normal pada setiap kemudi. Gaya itu yang membuat pergerakan tertentu dari kapal ikan menuju ke arah pusat. Jadi sesudah perubahan letak kemudi membentuk sudut dari sumbu tangent maka gerakan kapal ikan akan mengarah pada gerakan lama dari titik berat kapal ikan dan mengadakan putaran mengelilingi titik itu. Jadi luas putaran teritorial gerakan kapal ikan tersebut disebut sirkulasi.
Baling-baling adalah bagian dari mesin penggerak yang berada di air, serta alat yang terpenting dan terbanyak digunakan untuk menggerakkan kapal. Pada umunya baling-baling tediri dari daun baling-baling yang disebut Pitch Propeller, yang jumlahnya bisa dua, tiga, empat, lima daun. Ada daun baling-baling yang tetap dan dapat diatur sudutnya. Tipe baling-baling dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe penempatan baling-baling dan tipe propeller.



DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kelautan dan Pariwisata. 2008. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Vessel Monitoring System). Surat Edaran. Pusat Data, Statistic Dan Informasi (PUSDATIN). Jakarta.
Laksono, Aries Dwi. 2009. Kajian Teknis Penambahan Circulating Duct Pada Kapal Perikanan Tipe Outboard Di Indonesia. Paper. ITS.
Nugraha, A. 2008. Klasifikasi kapal Perikanan. Paper Perikanan Tangkap. PT. Media Nusa Pradana. Batam.
Ridzal Saini. 2008. Juklak Perhitungan Produktivitas Kapal Perikanan. Kliping Dunia Ikan dan Mancing. Jakarta.

CHORDATA


BAB I
PENGERTIAN CHORDATA

Chordata berasal dari bahasa yunani yaitu chorde yang berarti dawai atau senar atau tali.Sesuai dengan namanya anggota kelompok Chordata memiliki notokord (korda doralis) memanjang sebagai kerangka sumbu tubuh.
Asal-Usul Chordata
Teori-teori tentang asal usul Chordata disusun berdasarkan karakteristik invertebrata dan kordata rendah. Ada 3 teori yang dapat dikemukakan mengenai asal usul Phylum Chordata yaitu:
1. Teori Anelid
Baik anelida maupun Chordata bersifat bilateral simetris dan bersegmen. Organ-organ ekskresi bersegmen, selom tumbuh baik, ada korda saraf di pembuluh-pembuluh darah longitudinal. Apabila pada anelida kita menempatkan korda sarafnya di sebelah dorsal saluran pencernaan, maka tipe aliran darahnya akan sama dengan yang terdapat pada chordata. Namun, mulut anelida itu ada di sebelah dorsal, tidak seperti pada chordata yang mulutnya di sebelah ventral. Demikian pula berbagai hubungan dorsoventral akan berubah. Lebih-lebih lagi, annelida itu tidak mempunyai struktur yang serupa dengan notokorda atau celah-celah insang (Zaif, 2009).
2. Teori Araknid
Persamaanya adalah pada eurypterid (artropoda zaman Paleozoik) dan ostracoderm (chordata pada zaman purba), yaitu adanya eksoskeleton dorsal, namun demikian, kordata tidak mempunyai apendiks-apendiks seperti pada artopoda, dan korda sarafnya terletak sebelah dorsal. Sedangkan pada artopoda, korda sarafnya ada di sebelah ventral (Zaif, 2009).

3. Teori Ekinodermika
Larva tornaria dari cacing lidah Soccoglossus sp. (anak filum Hemichordata) dan larva bipinnaria dari echinodermata, semuanya transparan, bersilia eksternal, dengan ruang selom, dan mempunyai porus dorsal. Dahulu memang terjadi kekeliruan, yaitu larva cacing lidah itu diidentifikasi sebagai Asterius sp. Sebuah hipotesis pernah dikemukakahn, bahwa larva echinodermata→larva hemichordata→larva tunikata→amfioksus→ostracoderm. Jika hipotesis itu benar, maka tidak ada lagi kemungkinan akan ditemukan fosil chordata purba (Zaif, 2009).


Hewan yang termasuk Chordata adalah hewan yang memiliki penyongkong tubuh dalam,mulai dari tingkat sederhana sampai mamalia. Chordata hidup bebas, dan tidak ada yang secara tegas merupakan parasit. Di dalam tubuh Chordata terdapat celom.Mesoderm yang merupakan dinding celom tersebut berasal dari entoderm primer, sehingga Chordata termasuk enterocelomata bersama Echinodermata.
Sifat-sifat yang ada pada hewan –hewan yang dimasukkan ke dalam filum ini ialah:
  1. Memiliki korda doralis,pada keadaan embrio,larva atau seumur hidup,korda doralis terjadi entoderm primer.
  2. Pada dinding pharyng ada sulci pada keadaan embrio atau lubang-lubang pada keadaan larva atau seumur hidup lubang-lubang ini ialah celah-celah insang.
  3. Di dalam pusat susunan saraf ada rongga seumur hidup atau hanya pada keadaan larva rongga ini disebut neurocela












3. Ciri Morfologi dan Anatomi
  1. Morfologi
Secara morfologi filum Chordata mengalami perkembangan dari yang sederhana pada Chordata tingkat rendah akraniata (tidak bertengkorak) hingga hewan-hewan Chordata tingkat tinggi Kraniata (hewan bertengkorak dan mempunyai otak) mempunyai korda doralis dari yang berupa notokord pada ujung anterior saja hingga hewan-hewan yang notokordnya berkembang sangat bagus menjadi kolumna vertebralis (ruas-ruas tulang belakang).
  1. Anatomi
Secara anatomi filum Chordata memilki sistem organ yang sangat kompleks. Ada yang belum mempunyai jantung misalnya pada Amphioux.Ada jantung yang beruang 2, 3 atau 4. Terdapat selom yang berkembang baik. Mesoderm sebagai dinding selom yang berasal dari entoderm primer, seperti pada Echinodermata, sehingga Chordata bersama Echinodermata ada yang menggolongkan sebagai Enterocelomata.
  1. Ciri Tubuh Chordata
Tubuh simetis bilateral, memiliki susunan saraf pusat yang berbentuk pembuluh. Memiliki korda doralis (kerangka sumbu tubuh), beberapa celah faring dan adanya segmentasi pada bagian otot dan saraf. Beberapa hewan ada yang hidup parasit pada sesama Chordata. Memiliki sebuah benang saraf yang berlubang, celah-celah insang (gill clefts) dan sebuah ekor post anal.


BAB II
KLASIFIKASI CHORDATA


Filum Chordata ini dibagi atas 4 Sub filum:
  1. Sub Filum Hemichordata
  2. Sub Filum Urochordata
  3. Sub Filum Cephalochordata
  4. Sub Filum Vertebrata
Beberapa ahli Zoologi memasukkan Sub Filum Hemichordata, Sub Filum Urochordata, dan Sub Filum Cephalochordata menjadi satu kelompok yang disebut Acrania (A = tidak, Crania = tulang tengkorak), sedangkan Sub Filum Vertebrata masuk kelompok craniata (otaknya telah dilindungi tulang cranium).
  1. Hemichordata
Hemichordata (Hemi = setengah,chorde = dawai atau senar atau tali) Hemichordata mempunyai bentuk tubuh seperti cacing kecil, dengan cara hidup yang soliter ataupun berkoloni dan merupakan benthos laut pada masa hidup yang dewasa,pada saat masih berupa larva merupakan epiplankton. Biasanya hanya berukuran antara mm-cm, tapi ada yang berukuran sampai 1,5m pada kelas Enteropneusta Hewan ini mempunyai karakteristik:
  1. Tubuh simetris bilateral,
  2. Tubuhnya mempunyai lebih dari dua lapisan sel, jaringan dan organ,
  3. Tubuhnya berongga sejati,
  4. Tubuhnya terbagi menjadi 3 yaitu Protosome, Krah baju, dan belalai,
  5. Sistem saraf adalah menyebar,tetapi variabel,
  6. Mempunyai organ sirkulasi terbuka,
  7. Reproduksi dengan seksual dan aseksual,
  8. Memakan partikel yang ada di air,
  9. Semuanya terdapat di lingkungan lautan,
  10. Glomerolus sebagai organ ekskresi,
  11. Tubuhnya memiliki usus yang berbentuk lurus atau berbentuk U yang menyambung dengan anus


Tubuh hemichordata terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
  1. Protosome (preoral cuping), organ ini merupakan belalai yang dimodifikasi dan dijumpai pada berbagai spesies pendek, juga pada spesies ini.
  2. Krah baju, yang memiliki tentakel pada Pterobrancia tetapi tidak pada Enteropneusta
  3. Belalai, bagian ini mempunyai organ untuk reproduksi dan pencernaan.


Kelas-Kelas pada Hemichordata
Pada beberapa sumber disebutkan dalam Hemichordata terdapat 4 kelas yaitu kelas Enteropneusta, Pterobranchia, Graptolithina, dan Planctospaeroidae. Tetapi pada kelas Planctospaeroidae baru ditemukan satu spesies. Tetapi pada beberapa sumber lainnya disebutkan bahwa Hemichordata mempunyai 2 kelas yaitu kelas Enteropneusta dan Pterobranchia.
  1. Kelas Enteropneusta
Bentuk tubuh seperti cacing, soliter, berukuran 9-45cm, kecuali Balanoglossus di Brazillia mencapai 1,5m. Umumnya terdapat di perairan dangkal, di bawah batu dan karang dan meliang dalam lumpur dan pasir. Tubuh umumnya lembek dan terdiri atas belalai,kelepak (collar), dan badan yang panjang. Pada belalai (probosis) terdapat cilia yang berfungsi sebagai tenaga penggerak dan mengalirkan butir-butir makanan yang menempel pada lender ke mulut. Pada sisi dorsal badan yang berbatasan dengan kelepak terdapat deretan pori-pori insang yang tersusun secara longitudinal. Jumlah pori-pori bertambah dengan bertambahnya umur. Enteropneusta mempunyai daya regenerasi yang besar,sehungga dapat memperbaiki atau mengganti bagian tubuh yang hilang atau rusak.




B. Kelas Pterobranchia
Merupakan cacing kecil-kecil yang hidup dalam tabung, berkelompok atau berkoloni. Panjang tiap individu tidak lebih dari 12mm. Umumnya terdapat di laut dalam di selatan khatulistiwa,kecuali Rhabdopleura di pantai Eropa. Tubuh terdiri atas probosis berbentuk seperti tameng (perisai) dan tangan-tangan yang mengandung tentakel di bagian dorsal kelepak (collar).
  1. Urochordata
Urocordata (oura = ekor,chorde = dawai atau senar atau tali). Kebanyakan Urochordata berbentuk seperti kantung kecil,umumnya hidup sebagai hewan benthic dan beberapa jenis yang lain sebagai plankton.Terdapat 1300 spesies dalam sub filum Urochordata yang di bagi dalam 3 kelas yaitu Ascidiacea, Thaliacea, dan larvacea.
Sistem Pencernaan
Urochordata misalnya Ascidia bersifat filter feeders (aktif memakan partikel makanan). Esofagus merupakan lanjutan faring dekat akhir posterior lamina. Selanjutnya menuju lambung bersambung dengan usus yang melekat di sebelah kiri dari mantel. Lambung merupakan kantung dengan dinding tebal yang menghasilkan enzim karbohidrase yang mampu memecah karbohidrat. Selain itu lambung juga menghasilkan enzim proteolitik dan lipolitik. Sebelah dalam dari lambung dan penebalan usus sebelah ventral dikenal sebagai typhlosole. Sistem pencernaan Urochordata memiliki kelenjar hati yang besar. Terdapat kelenjar piloris yang bercabang-cabang di seluruh dinding usus yang berhubungan dengan lambung. Kelenjar piloris tersebut berfungsi untuk melancarkan saluran pencernaan makanan. Bagian akhir usus memutar melingkar ke depan dan berakhir pada lubang dubur yang nantinya berhubungan dengan sifon (Ruppert, 2004).






  1. Sub-Kelas Ascidiacea
Ascidiacea disebut juga seasquirt,penyemprot laut. Umumnya hidup sessile dan merupakan avertebrata air dengan penyebaran luas, terdapat di laut hamper seluruh dunia. Umumnya terdapat di perairan litoral,menempel pada karang, cangkang molusca, lunas kapal atau pada dasar pasir dan lumpur.
Bentuk tubuh seperti kantung atau balon kecil. Ujung yang satu menempel pada substrat dan ujung yang lain menjulur bebas dan mempunyai dua buah bukaan, bucal siphon atau sifon air masuk dan cloacal (atrial) siphon atau sifon air keluar.
Tubuh ascidian tertutup lapisan epitel. Di luar lapisan epitel masih ada lagi pembungkus yang disebut mantel atau tunic. Tunic merupakan ciri khas ascidian, sehingga dinamakan tunica. Ketebalan mantel bervariasi, demikian pula kekerasannya dari lunak sampai keras. Tidak sedikit yang transparan sehingga organ dalamnya terlihat. Tunica adalah filter feeder dan penyaring plankton dari air yang mengalir melalui pharynx.
Kebanyakan ascidian berukuran besar dengan diameter sampai 30 mm hidup soliter dan sering disebut ascidian sederhana.


  1. Sub-Kelas Thaliacea
Merupakan tunica pelagis. Hidup soliter atau dalam bentuk koloni.Kelas Thaliacea berbeda dengan Kelas Ascidian. Sifon air masuk dan sifon air keluar pada Thaliacea terletak pada ujung yang berlainan, dan aliran air selain untuk pertukaran gas dan makan,juga berfungsi sebagai alat gerak. Tubuh transparan sehingga organ dalamnya tampak jelas. Terdapat sekitar 6 genera dengan 70 spesies, semua hidup sebagai plankton laut,di daerah tropis dan subtropis
Kelas Thaliacea di bagi menjadi 3 ordo berdasarkan cara hidup dan daur hidup yang berbeda menjadi Pyrosomida, Doliolida, dan Salpida.


  • Ordo Pyrosomida
Ciri-ciri:
  • Bentuk koloni seperti tabung silinder
  • Panjang koloni yang silindris dapat mencapai 2m
  • Berkembang biak secara seksual dan aseksual


  • Ordo Doliolida
Soliter.bentuk tubuh dewasa seperti gentong kayumempunyai otot melingkar yang lengkap. Kontraksi otot untuk menyemprot air ke luar melalui sifon atrium sehingga organisme tersebut dapat berenang dengan cepat.


  • Ordo Salpida
Ciri-ciri:
  • Otot melingkar tidak lengkap
  • Tabung (test) transparan seperti agar
  • Hidup soliter atau mengelompok
  • Reproduksi secara aseksual dan seksual


  1. Sub-Kelas Larvacea (Appendicularia)
Terdapat sebagai plankton laut di seluruh dunia.Tubuh kecil, beberapa millimeter dan transparan. Dinamakan Larvacea karena yang dewasa tetap mempunyai beberapa ciri-ciri khas larva, seperti mempunyai ekor di belakang anus dan notokord,tubuh melengkung mirip berudu ascidian atau seperti huruf U. Semua larvacea soliter.Mulut di anterior dan anus di ventral.
Larvacea tidak mempunyai mantel atau tunic dari selulosa tetapi tubuh terdapat dalam suatu “rumah”. Permukaan lapisan epitel menghasilkan zat semacam agar yang menyelimuti seluruh tubuh.




  1. Cephalochordata
Tubuh dapat dibagi menjadi kepala,badan dan ekor. Kepala terdiri atas rostrum, mulut dan oral cirri. Rostrum seperti moncong, terdapat di ujung anterior,berfungsi untuk menyingkirkan pasir saat menggali lubang. Mulut di kelilingi oral cirri yaitu rangkaian tonjolan panjang-panjang sebagai alat indra. Badan yang besar dan setengahnya terisi oleh pharynx dan gonad. Pada sisi latero-ventral badan terdapat lipatan metapleura. Tubuh di lapisi epidermis,tanpa kutikula maupun tunic.
Sebagai anggota dari filum Chordata, lancelet mempunyai notokord yang terletak sepanjang tubuh, benang saraf bolong sepanjang tubuh, tetapi tidak melebar membentuk otak,ekor terletak di belakang anus, dan pharynx besar dengan celah insang berpasangan.
Cephalochordata merupakan kelompok Coelomata yang beruas-ruas seperti annelid dan vertebrata. Tubuh Cephalochordata yang beruas-ruas tampak jelas dari otot renang yang tersusun sepanjang badan, sebanyak 50 sampai 75 unit, berbentuk V, disebut myomere (“ruas otot”), yang terletak pada kedua sisi tubuh. Masing-masing myomere dibatasi oleh myosepta.
Dikelompokan menjadi 2 ordo :
  • Ordo Branchiostomida
  • Contoh Amphioxus lanceolatus
  • Ordo Amhioxidida
  • Contoh Amphioxides Sp.


  1. Vertebrata
Para ahli paleontologi telah menemukan fosil invertebrata yang menyerupai chepalochordata di Burgess Hale of British Columbia , Kanada. Fosil itu berumur sekitar 545 juta tahun , lebih tua dibandingkan dengan vertebrata tertua yang diketahui secara umum. Catatan pada batuan tersebut terlalu tidak sempurna bagi kita untuk dapat melacak kembali asal mula dari vertebrata pertama yang berasal dari nenek moyang invertebrata, tetapi kita dapat mengajukan hipotesis logis mengenai evolusi ini berdasarkan anatomoi dan embriologi perbandingan. Banyak ahli biologi berpendapat bahwa nenek moyang vertebrata adalah hewan yang makan dengan mengambil suspensi, mirip dengan cephalochordata, dan memiliki keempat ciri dasar chordata tersebut. Penelitian terbaru oleh para ahli sistematika molekuler mendukung hipotesis bahwa cephalochordata adalah kerabat terdekat vertebrata (Campbell,2004).
Baik cephalochordata maupun vertebrata mungkin telah berevolusi dari leluhur sesil yang sama melalui paedogenesis, perkembangan dini kematangan seksual pada larva. Peerubahan dalam gen yang mengontrol perkembangan dapat mengubah waktu terjadinya perkembangan tersebut, misalnya pematangan gonad. Mungkin perubahan seperti itu terjadi pada leluhur cephalochordata dan vertebrata, menyebabkan gonad menjadi matang pada larva yang hidup berenang sebalum dimulainya metamorfosis menuju bentuk dewasa yang sesil. Jika larva yang bereproduksi sangat berhasil, seleksi alam mungkin telah memperkuat paedogenesis dan menghilangkan tahapan metemorfosis (Campbell,2004).
Vertebrata masih mempertahankan karakteristik chordata primitif tetapi memiliki spesialisasi tambahan, yaitu ciri-ciri yang diturunkan dan dimiliki bersama yang membedakan subfilum ini dari chordata invertebrata. Banyak dari ciri-ciri yang membedakan vertebrata-vertebrata ini terkait dengan ukuran besar dan gaya hidup yang aktif (Campbell,2004).








BAB III
FISIOLOGI


Pada Hemichordata cellom proboscis dan cellom collare diduga dapat diisi dengan air laut sehingga mengembang dan mengeras. Oleh karenanya dan dengan bantuan gerakan otot tuncus, hewan dapat masuk ke dalam lumpur. Mulut tetap terbuka, sehingga air dan lumpur yang mengandung sisa-sisa organis masuk ke dalam mulut. Air kemudian keluar melalui lubang-lubang, kandung-kandung, celah-celah insang, sisa-sisa organis merupakan makanan dan tanah, dikeluarkan melalui anus.
Pada Urochordata makanan berupa plankton-plankton kecil masuk ke dalam pharynx. Plankton ini terjerat oleh getah yang pekat yang berasal dari sel-sel kelanjar yang berasal dari endostyle, dan dialirkan oleh gerakan silia pada endostyle, cristae epicaryngeales dan lamina dorsalis ke lubang esophagus, lalu mengalir melalui stigmata di mana terjadi pertukaran gas antara darah dan air. Kontraksi cor ialah secara peristaltik dengan arah yang berganti-ganti, sehingga aliran darah juga berganti-ganti.
Kelompok sel-sel besar dengan gelembung-gelembung besar yang mengandung asam urat diduga berfungsi sebagai alat exskresi. Juga diduga bahwa grandula neurelaris berhubungan dengan exkresi. Pada tentakel di dalam lubang mulut diduga ada sel-sel yang berfungsi sebagai chemoreceptor. Juga diduga bahwa tuberculum dorsale merupakan suatu alat indera. Pada keadaan protogyni, ovarium berfungsi dulu, kemudian testis. Oleh karenanya dapat terjadi autofertilisasi.






BAB IV
LAIN-LAIN




  1. Hubungan antara chordata-Inveterbrata danVertebrata.
Para ahli Paleontologi telah menemukan fosil invertebrata yang menyerupai Cephalochordata di Burgess Shale of British Colombia, Kanada. Fosil itu berumur sekitar 545 juta tahun, sekitar 50 juta tahun lebih tua dibandingkan dengan vertebrata tertua yang diketahui sejauh ini.Catatan pada batuan tersebut terlalu tidak sempurna bagi kita untuk dapat melacak kembali asal mula dari vertebrata pertama yang berasal dari nenek moyang inveterbrata tetapi kiya dapat mengajukan hipotesis logis mengenai evolusi iniberdasarkan anatomi dan embriologi perbandingan. Banyak ahli biologi berpendapat bahwa nenek moyang vertebrata adalah hewan yang makan dengan mengambil suspensi, mirip dengan Cephalochordata dan memiliki keempat ciri dasar Chordata tersebut. Penelitian baru oleh para ahli sistematika molukuler mengandung hipotesis bahwa Cephalochordata adalah kerabat terdekat vertebrata.
Baik Cephalochordatamaupun Vertebrata mungkin telah berevolusi dari leluhur sesil yang sama melalui paedogenesis, perkembangan dini kematangan seksual pada larva urochordata dibandingkan dengan urochordata dewasa. Perubahan dalam gen yang mengontrol perkembangan dapat mengubah waktu terjadinya perkembangan tersebut, misalnya pematangan gonad. Mungkin perubahan seperti itu terjadi pada leluhur cephalochordata dan vertebrata, menyebabkan gonad jadi matang pada larva yang hidup berenang sebelum dimulainya metamorfosis menuju bentuk dewasa yang sesil. Jika larva yang bereproduksi itu sangat berhasil, seleksi alam mungkin telah memperkuat paedogenesis dan menghilangkan tahapan metamorfosis.
Meskipun Cephalochardata dan Vertebrata kemungkinan berevolusi dari leluhur Chordata yang sama, mereka memisah sekitar setengah miliah tahun silam sehingga memiliki banyak perbedaan penting.


BAB V
MANFAAT




  1. Merupakan plankton, hemichordata pada masa larva, ordo salpida
  2. Sebagai bioindikator pencemaran
  3. Sebagai pengurai


DAFTAR PUSTAKA
Bullough, W.S.1951.Practical Invertebrate Anatomy. Mac Millan, London.
Hertwig, R. 1903l.Lehbruch der Zoologie, Ficher Jena.
Parker, T.J. Haswell, W.A., 1951.A Text Book of Zoology, vol 1. Mac Millan, London
Storer, T.S, Usinger, R.L.1957.General Zoolog.Mc.Graw-Hill, New York.
Zaif. 2009. Filum Chordata. http://wordpress.com/phylum-chordata. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011 Pukul 20.05 WIB
Campbell. 2004. BIOLOGI jilid 2 edisi ke-5. Erlangga : Jakarta


UUD PERIKANAN


BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
  2. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
  3. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya.
  4. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
  5. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
  6. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
  7. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
  8. Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
  9. Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.
  10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
  11. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
  12. Pembudi daya ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
    Pembudi daya-ikan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
  13. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
  14. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  15. Surat izin usaha perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.
  16. Surat izin penangkapan ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.
  17. Surat izin kapal pengangkut ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan.
  18. Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
  19. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
  20. Zona ekonomi eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
  21. Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
  22. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
  23. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan.
  24. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
  25. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.



Bagian Kedua
Asas dan Tujuan

Pasal 2

Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.


Pasal 3

  1. Pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan:
  2. meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil;
  3. meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
  4. mendorong perluasan dan kesempatan kerja;
  5. meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan;
  6. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;
  7. meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
  8. meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan;
  9. mencapai pemanfataan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan
  10. menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.



BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 4

Undang-Undang ini berlaku untuk:
  1. setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
  2. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
  3. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; dan
  4. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerja sama dengan pihak asing.



BAB III
WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN


Pasal 5

  1. Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:
    1. perairan Indonesia;
    2. ZEEI; dan
    3. sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.

  1. Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum.



BAB IV
PENGELOLAAN PERIKANAN


Pasal 6

  1. Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan.

  1. Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.


Pasal 7

  1. Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan:
    1. rencana pengelolaan perikanan;
    2. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
    3. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
    4. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
    5. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
    6. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
    7. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
    8. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
    9. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
    10. sistem pemantauan kapal perikanan;
    11. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
    12. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya;
    13. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
    14. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;
    15. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
    16. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
    17. suaka perikanan;
    18. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
    19. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
    20. jenis ikan yang dilindungi.

  1. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai:
    1. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
    2. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
    3. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
    4. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
    5. sistem pemantauan kapal perikanan;
    6. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
    7. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya;
    8. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
    9. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;
    10. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
    11. suaka perikanan;
    12. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
    13. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
    14. jenis ikan yang dilindungi.

  1. Menteri menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c setelah mempertimbangkan rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.

  1. Komisi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan para ahli di bidangnya yang berasal dari lembaga terkait.

  1. Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.

  1. Dalam rangka mempercepat pembangunan perikanan, pemerintah membentuk dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional yang diketuai oleh Presiden, yang anggotanya terdiri atas menteri terkait, asosiasi perikanan, dan perorangan yang mempunyai kepedulian terhadap pembangunan perikanan.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.


Pasal 8
  1. Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
  2. Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

  1. Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

  1. Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
  2. Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperbolehkan hanya untuk penelitian.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia:
  1. alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan;
  2. alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu; dan/atau
  3. alat penangkapan ikan yang dilarang.


Pasal 10
  1. Untuk kepentingan kerja sama internasional, Pemerintah:
    1. dapat memublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan;
    2. bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong;
    3. memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.

  1. Pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan regional dan internasional.





Pasal 11

  1. Untuk kepentingan kelestarian sumber daya ikan dan pemanfaatan lahan pembudidayaan ikan, Menteri menetapkan suatu keadaan kritis yang membahayakan atau dapat membahayakan sediaan ikan, spesies ikan, atau lahan pembudidayaan ikan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
  2. Menteri mengumumkan dan menyebarluaskan langkah-langkah keadaan kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 12

  1. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

  1. Setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

  1. Setiap orang dilarang membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

  1. Setiap orang dilarang menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 13

  1. Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 14
  1. Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.
  2. Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
  3. Pemerintah mengendalikan pemasukan ikan jenis baru dari luar negeri dan/atau lalu lintas antarpulau untuk menjamin kelestarian plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
  4. Setiap orang dilarang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian plasma nutfah sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15

Pemerintah mengatur pemasukan dan/atau pengeluaran jenis calon induk, induk, dan/atau benih ikan ke dalam dan dari wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.




Pasal 16

  1. Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran, dan/atau pemeliharaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

Pemerintah mengatur dan mengembangkan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan dalam rangka pengembangan pembudidayaan ikan.


Pasal 18

  1. Pemerintah mengatur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan.

  1. Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam rangka menjamin kuantitas dan kualitas air untuk kepentingan pembudidayaan ikan.


Pasal 19
  1. Pemerintah menetapkan persyaratan dan standar alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.

  1. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.

  1. Pemerintah dan masyarakat melaksanakan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan standar serta pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 20
  1. Proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan.

  1. Sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas subsistem:
    1. pengawasan dan pengendalian mutu;
    2. pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar bahan baku, persyaratan atau standar sanitasi dan teknik penanganan serta pengolahan, persyaratan atau standar mutu produk, persyaratan atau standar sarana dan prasarana, serta persyaratan atau standar metode pengujian; dan
    3. sertifikasi.

  1. Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan.
  2. Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan.

  1. Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan penerapan sistem jaminan mutu hasil perikanan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperoleh Sertifikat Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu.

  1. Ikan hasil penangkapan dan/atau pembudidayaan harus memenuhi standar mutu dan keamanan hasil perikanan.

  1. Produk hasil pengolahan perikanan harus memenuhi persyaratan dan/atau standar mutu dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.

  1. Industri pengolahan ikan yang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 21

Setiap orang yang melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia harus melengkapinya dengan sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia.


Pasal 22

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, sertifikat kelayakan pengolahan, sertifikat penerapan manajemen mutu terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dan sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 23

  1. Setiap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan.
  2. Pemerintah menetapkan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat



Pasal 24
  1. Pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan.

  1. Pemerintah dapat membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan ikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku tersebut di dalam negeri.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan di dalam negeri serta pembatasan ekspor bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB V
USAHA PERIKANAN


Pasal 2
5

Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.


Pasal 26

  1. Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP.

  1. Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.


Pasal 27

  1. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI.

  1. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI.

  1. SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.

  1. Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.

Pasal 28

  1. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI.
  2. SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.

Pasal 29

  1. Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia.
  2. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.


Pasal 30

  1. Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.

  1. Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan kewajiban pemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk mematuhi perjanjian perikanan tersebut.

  1. Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.


Pasal 31

  1. Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIPI.

  1. Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIKPI.


Pasal 32

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 34

  1. Kapal perikanan berdasarkan fungsinya meliputi:
    1. kapal penangkap ikan;
    2. kapal pengangkut ikan;
    3. kapal pengolah ikan;
    4. kapal latih perikanan;
    5. kapal penelitian/eksplorasi perikanan; dan
    6. kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 35

  1. Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri.

  1. Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik berlayar dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran.

Pasal 36

  1. Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.

  1. Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang berupa:
    1. bukti kepemilikan;
    2. identitas pemilik; dan
    3. surat ukur.

  1. Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

  1. Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 37

Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan berupa tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur penangkapan ikan, dan/atau tanda alat penangkapan ikan.


Pasal 38

  1. Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka.

  1. Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya.

  1. Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.


Pasa
l 39

Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan.


Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai membangun, mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 41

  1. Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.

  1. Menteri menetapkan:
    1. rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional;
    2. klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan;
    3. persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan;
    4. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan
    5. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.

  1. Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan.

  1. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin.


Pasal 42

  1. Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan.
  2. Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar.

  1. Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan lain, yakni:
    1. memeriksa ulang kelengkapan dan keabsahan dokumen kapal perikanan; dan
    2. memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal perikanan.

  1. Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Menteri.

Pasal 43

Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan.


Pasal 44

  1. Surat izin berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi.

  1. Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 45

Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan perikanan, surat izin berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah diperoleh surat laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.




BAB VI
SISTEM INFORMASI DAN DATA STATISTIK PERIKANAN


Pasal 46

  1. Pemerintah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data statistik perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data potensi, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang terkait dengan pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan.

  1. Pemerintah mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan.


Pasal 47

  1. Pemerintah membangun jaringan informasi perikanan dengan lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri.

  1. Sistem informasi dan data statistik perikanan harus dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh seluruh pengguna data statistik dan informasi perikanan.







BAB VII
PUNGUTAN PERIKANAN


Pasal 48

  1. Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan.

  1. Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.


Pasal 49

Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI dikenakan pungutan perikanan.


Pasal 50

Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan pelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.


Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan perikanan dan penggunaan pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB VIII
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN


Pasal 52

Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.


Pasal 53

  1. Penelitian dan pengembangan perikanan dapat dilaksanakan oleh perorangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/atau swasta.

  1. Perorangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/atau swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan:
    1. pelaksana penelitian dan pengembangan;
    2. pelaku usaha perikanan;
    3. asosiasi perikanan; dan/atau
    4. lembaga penelitian dan pengembangan milik asing.

Pasal 54

Hasil penelitian bersifat terbuka untuk semua pihak, kecuali hasil penelitian tertentu yang oleh Pemerintah dinyatakan tidak untuk dipublikasikan.


Pasal 55

  1. Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Pemerintah.

  1. Penelitian yang dilakukan oleh orang asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikutsertakan peneliti Indonesia.

  1. Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia harus menyerahkan hasil penelitiannya kepada Pemerintah.



Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penelitian dan pengembangan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB IX
PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN PERIKANAN


Pasal 57

  1. Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan.

  1. Pemerintah menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) satuan pendidikan dan/atau pelatihan perikanan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf internasional.


Pasal 58

Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga terkait, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional, dalam menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan.


Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58 diatur dengan Peraturan Pemerintah.






BAB X
PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDI DAYA-IKAN KECIL


Pasal 60

  1. Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil melalui:
    1. penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional dengan cara yang mudah, bunga pinjaman yang rendah, dan sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil;
    2. penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan kecil serta pembudi daya-ikan kecil untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran ikan; dan
    3. penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil, kelompok pembudi daya-ikan kecil, dan koperasi perikanan.

  1. Pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan oleh masyarakat.


Pasal 61

  1. Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

  1. Pembudi daya-ikan kecil dapat membudidayakan komoditas ikan pilihan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

  1. Nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menaati ketentuan konservasi dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

  1. Nelayan kecil atau pembudi daya-ikan kecil harus ikut serta menjaga kelestarian lingkungan perikanan dan keamanan pangan hasil perikanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  1. Nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya, yang dilakukan untuk keperluan statistik serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.


Pasal 62

Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 63

Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudi daya-ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan.


Pasal 64

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN


Pasal 65

  1. Penyerahan sebagian urusan perikanan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dan penarikannya kembali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Pemerintah dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan.



BAB XII
PENGAWASAN PERIKANAN

Pasal 66

  1. Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan.

  1. Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.

  1. Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan nonpenyidik pegawai negeri sipil perikanan.


Pasal 67

Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan.


Pasal 68

Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan.


Pasal 69

  1. Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1), dalam melaksanakan tugas dapat dilengkapi dengan senjata api dan/atau alat pengaman diri lainnya serta didukung dengan kapal pengawas perikanan.

  1. Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan.

  1. Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.

  1. Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api.




Pasal 70

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan, kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri lainnya, yang digunakan oleh pengawas perikanan dan/atau yang dipasang di atas kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB XIII
PENGADILAN PERIKANAN


Pasal 71

  1. Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.

  1. Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di lingkungan peradilan umum.

  1. Untuk pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.

  1. Daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaskud pada ayat (3) sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

  1. Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku, sudah melaksanakan tugas dan fungsinya.

  1. Pembentukan pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.



BAB XIV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN PERIKANAN


Bagian Kesatu
Penyidikan


Pasal 72

Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.


Pasal 73

  1. Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

  1. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi.

  1. Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan, Menteri dapat membentuk forum koordinasi.

  1. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
    1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;
    2. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
    3. membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;
    4. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
    5. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
    6. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
    7. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
    8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan;
    9. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
    10. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
    11. melakukan penghentian penyidikan; dan
    12. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

  1. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum.

  1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari.

  1. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh) hari.

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.

  1. Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.


Bagian Kedua
Penuntutan


Pasal 74

Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.


Pasal 75

  1. Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau pejabat yang ditunjuk.

  1. Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
    2. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan
    3. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.

  1. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b pelaksanaannya harus sudah diterapkan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.


Pasal 76

  1. Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas penyidikan.

  1. Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap, penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara kepada penyidik yang disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi.

  1. Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.

  1. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

  1. Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan perikanan.

  1. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan selama 10 (sepuluh) hari.

  1. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang paling lama 10 (sepuluh) hari.

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.


Bagian Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 77

Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.


Pasal 78

  1. Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc.

  1. Susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karier.

  1. Hakim karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

  1. Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung


Pasal 79

Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.


Pasal 80

  1. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan.

  1. Putusan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa.


Pasal 81

  1. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.

  1. Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.


Pasal 82

  1. Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi.

  1. Untuk kepentigan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan tinggi berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.

  1. Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.




Pasal 83

  1. Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

  1. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang Mahkamah Agung berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.

  1. Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila perlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10 (sepuluh) hari.

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.



BAB XV
KETENTUAN PIDANA


Pasal 84

  1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

  1. Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

  1. Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

  1. Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


Pasal 85

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


Pasal 86

  1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

  1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

  1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

  1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).


Pasal 87

  1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  1. Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


Pasal 88

Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, megeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).


Pasal 89

Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).


Pasal 90

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).


Pasal 91

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).


Pasal 92

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).


Pasal 93

  1. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

  1. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).


Pasal 94

Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).


Pasal 95

Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Pasal 96

Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).


Pasal 97

  1. Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  1. Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  1. Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


Pasal 98

Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


Pasal 99

Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 100

Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).


Pasal 101

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.


Pasal 102

Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.


Pasal 103

  1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 adalah kejahatan.

  1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 adalah pelanggaran.


Pasal 104

  1. Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan.

  1. Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara.


Pasal 105

  1. Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dilelang untuk negara.

  1. Kepada aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan Peraturan Menteri.



BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 106

Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.


Pasal 107

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi perkara tindak pidana di bidang perikanan yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri dilakukan sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini.


Pasal 108

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) yang masih dalam tahap penyidikan atau penuntutan tetap diberlakukan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini;

  1. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) yang sudah diperiksa tetapi belum diputus oleh pengadilan negeri tetap diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri yang bersangkutan sesuai dengan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini; dan

  1. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) yang sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum mulai diperiksa dilimpahkan kepada pengadilan perikanan yang berwenang.


Pasal 109

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.



BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 110

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299); dan
  2. ketentuan tentang pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260) khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 111

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,




MEGAWATI SOEKARNOPUTRI